![]() |
Teater lingkar Semarang |
MNI|SEMARANG – Senin siang itu, alunan suara gamelan terdengar lembut dari Sanggar Seni Teater Lingkar, Semarang. Tidak biasa, sebab yang duduk di depan saron dan kendang bukan hanya para pengrawit lokal, melainkan juga seorang musisi asal Belanda. Dengan tekun ia mengikuti arahan pengajar, jari-jarinya menekan bilah gamelan, mencoba menjaga irama. Sesekali ia tersenyum ketika nada yang dimainkan berhasil berpadu apik dengan bunyi instrumen lain.
Musisi Belanda ini datang ke Semarang dalam rangkaian agenda seni yang padat. Sehari sebelumnya, ia tampil bersama band di Festival Kota Lama Semarang. Dari sana, ia melanjutkan perjalanan ke Solo untuk mengikuti workshop karawitan. Hari ini, ia belajar gamelan di Semarang, lalu sore harinya singgah di Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata untuk berbagi pengalaman dalam workshop musik. Besok, ia akan ke Jakarta untuk kembali bermain musik, sebelum akhirnya pulang ke negaranya.
Sanggar yang Ramah Budaya
Bagi Sari, pengasuh Sanggar Seni Teater Lingkar, kehadiran tamu dari mancanegara ini adalah kebanggaan. “Senang sekali bisa menjadi tuan rumah yang baik. Komunitas Teater Lingkar yang di dalamnya ada kelompok karawitan Sindhu Laras terbuka untuk siapa saja yang ingin belajar gamelan, wayang kulit, atau sekadar mencoba nembang Jawa,” tuturnya.
Sanggar ini memang berupaya menjaga budaya Jawa tetap hidup dengan cara merangkul semua kalangan. Baik pelajar lokal maupun tamu asing, semuanya disambut dengan kesempatan yang sama: belajar, mencoba, dan merasakan langsung kekayaan budaya Nusantara.
Belajar dalam Irama
Dalam sesi singkat tiga jam, hasilnya cukup mengejutkan. Dengan arahan pengajar yang runtut, musisi Belanda itu mampu memainkan tiga lagu gamelan dengan baik. Bahkan ia dan rombongan bisa ikut menyanyikan tembang-tembang Jawa populer, seperti “Suwe Ora Jamu” dan “Tul Jaenak”, dengan irama yang nyaris sempurna.
Bob Wardhana, perwakilan Kedutaan Indonesia yang mendampingi, ikut larut dalam suasana. “Saya juga senang bisa belajar meskipun sebentar. Pengajar di sini tidak hanya mengajarkan cara bermain, tetapi juga teknik dasar. Itu membuat pengalaman kami lebih berkesan,” ujarnya.
Menjaga Warisan, Menyapa Zaman
Bagi Sindhunata Gesit, Ketua Teater Lingkar Semarang sekaligus dalang muda, kegiatan ini menjadi pengingat bahwa budaya Jawa masih relevan jika disajikan dengan cara yang luwes. “Saya tidak menolak kehadiran budaya luar, karena kesenangan tidak bisa dipaksa. Tapi tradisi warisan bangsa jangan ditinggalkan. Gamelan, ketoprak, wayang orang, silakan tetap ditonton,” katanya.
Sindhu kerap melakukan riset mengenai kesenian yang disukai anak muda zaman sekarang. Dari sana, ia mencoba mengkolaborasikan seni tradisi dengan unsur kekinian. Tujuannya sederhana: agar wayang kulit dan gamelan bisa dicintai oleh masyarakat lintas generasi, termasuk anak muda. “Dalam seni, tidak ada yang benar atau salah. Yang penting adalah keterhubungan antara penonton dan karya,” tambahnya.
Harmoni yang Menyatukan
Hari itu, Sanggar Seni Teater Lingkar tidak hanya menjadi ruang belajar musik, melainkan juga ruang perjumpaan lintas bangsa. Dari tangan musisi Belanda hingga suara dalang muda Jawa, tercipta harmoni yang membuktikan bahwa seni adalah bahasa universal. Gamelan, dengan segala kesakralannya, kembali menunjukkan jati dirinya: bukan hanya warisan budaya, tetapi juga jembatan persahabatan dunia.