. “Mengenang Maston Lingkar: 100 Hari kepergian Sang Maestro Teater Semarang”

 

Maston lingkar 

MNI|Semarang, 4 Oktober 2025 — Langit malam di Gemah Jaya, Semarang, terasa berbeda dari biasanya. Angin membawa aroma dupa dan wangi bunga kamboja yang berpadu dengan lantunan doa. Di rumah almarhum Suhartono bin Soelarno Padmosoemarto — sosok yang lebih dikenal sebagai Maston Lingkar — puluhan seniman dan budayawan datang mengenang sang maestro dalam peringatan 100 hari kepergiannya.


Malam itu, halaman rumah sederhana di ujung gang berubah menjadi ruang perjumpaan rasa. Sejumlah tokoh budaya tampak hadir: Budi Bobo, Niken Ardhana, Suprih Raharjo, Roso Power, hingga Eko Tunas, penulis naskah yang lama bersahabat dengan Maston. Mereka tak hanya datang membawa bunga dan doa, tapi juga kenangan panjang tentang perjalanan seorang guru yang hidupnya tak pernah lepas dari panggung dan kata.


Setelah tahlil dan doa bersama, para tamu larut dalam suasana yang khidmat. Mereka mengenang Maston dengan cara yang paling ia cintai: lewat puisi dan kidung lirih.


Salah satu yang tampil adalah Niken Ardhana, membacakan puisi karya Bunda Dien, berjudul Suwung.


> “Suwung ing raga, suwung ing rasa,

Sejatine minggahing inti ruh,

Krana raos kangen linuwih mring Gustine...”


Suara Niken bergetar, memantul di dinding rumah yang dulu menjadi tempat latihan Teater Lingkar. Beberapa mata tak kuasa menahan air. “Maston itu guru, tapi juga sahabat,” ucap salah satu muridnya lirih. “Ia mengajarkan teater, tapi sebenarnya ia sedang mengajarkan hidup.”


Empat Dekade Menyalakan Api Teater


Didirikan pada 4 Maret 1980 di Jl. Genuk Krajan II/9, Tegal Wareng, Semarang, Teater Lingkar bukan sekadar kelompok teater. Ia adalah ruang pencarian makna hidup. Maston membangun komunitas itu dengan keyakinan bahwa seni adalah jalan manusia memahami diri dan Tuhannya.


Selama 45 tahun, ia membimbing generasi muda tanpa pamrih. Di tangan Maston, panggung bukan tempat berakting, melainkan cermin kehidupan. “Teater bukan soal pertunjukan,” katanya suatu ketika di Taman Budaya Raden Saleh, “tapi tentang menata jiwa.”


Metode pengajarannya sederhana: mendengar, merasakan, memahami. Ia tak pernah membedakan antara aktor senior dan anak baru; bagi Maston, setiap manusia punya ruang untuk tumbuh.


Guru Kehidupan yang Sederhana


Di lingkungan tempat tinggalnya di Perumahan Kini Jaya, Semarang, ia dikenal sebagai Pak Hartono — sosok ramah yang sering terlihat duduk di teras sambil menulis di buku catatannya. Tak banyak yang tahu, di balik kesederhanaan itu, tersimpan jiwa besar seorang pemikir kebudayaan.


Nama aslinya, Suhartono Padmosoemarto, jarang disebut. Tapi sebutan “Maston Lingkar” menjadi simbol dedikasi bagi dunia teater Semarang. Ia adalah jembatan antara tradisi dan modernitas, antara olah rasa dan olah pikir.


Atas konsistensinya menghidupkan kesenian, Maston pernah menerima penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI) atas penyelenggaraan wayang kulit setiap malam Jumat selama 200 kali berturut-turut. Ia menyebut pertunjukan itu sebagai “zikir budaya”—cara untuk menjaga napas Jawa agar tak padam.


Nafas yang Tetap Hidup


Kini, setelah kepergiannya, rumah Teater Lingkar masih berdiri. Lantunan gamelan masih terdengar setiap malam latihan. Para murid tetap berkumpul, menyiapkan pementasan baru, dengan semangat yang sama seperti dulu — seolah Maston masih berdiri di sudut ruangan, mengawasi dengan senyum tenangnya.


“Maston tidak pernah pergi,” ujar salah satu aktor senior Teater Lingkar. “Ia hanya pulang. Tapi napasnya tetap ada di setiap denting gamelan dan setiap kata yang kita ucapkan di panggung.”


Selamat jalan, Guru.

Engkau telah menulis hidupmu di antara naskah dan doa, meninggalkan jejak yang tak akan lekang oleh waktu.

Dalam setiap suwung, kami masih mendengar suaramu — pelan, jernih, dan abadi.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama