Dua Dalang, Satu Amanah Budaya: Ki Narto Sabdho dan Ki Sindhunata Gesit Widiharto

Momen ketika Ketua fraksi PDI-P DPRD provinsi Jawatengah A.BAGINDA MUHAMMAD MAHFUZ H menyerahkan wayang kulit Kumbokarno ke dalang Ki Sindhunata gesit.

MNI|Semarang – Peringatan 100 tahun kelahiran maestro dalang Ki Narto Sabdho di Museum Ronggowarsito, Semarang, Rabu 27 Agustus 2025 ini menjelma lebih dari sekadar pagelaran wayang kulit. Malam itu, semarang memperlihatkan seorang dalang muda penuh terobosan, Ki Sindhunata Gesit Widiharto.

Pagelaran wayang yang simbolik ini mengingatkan pada mata rantai budaya: Ki Narto Sabdho sebagai akar tradisi yang kokoh, dan Ki Sindhunata sebagai ranting segar yang menjanjikan masa depan pedalangan di era digital.

Dari Pakem ke Inovasi

Semasa hidup, Ki Narto Sabdho dikenal teguh menjaga pakem luhur. Kisah Mahabharata dan Ramayana ia sulam dengan daya magis, membuat penonton hanyut pada alur sekaligus makna.

Jejak itu kini diteruskan Ki Sindhunata Gesit, dalang muda yang tumbuh dari keluarga pecinta budaya Jawa. Menyelesaikan pendidikan hingga jenjang S3, Sindhunata hadir dengan gaya berbeda: humanis, segar, dan komunikatif. Ia menyatukan pakem dengan kreativitas modern. Bahasa gaul yang renyah, iringan musik akrab di telinga generasi muda, hingga busana unik—sarung dipadu blazer—menjadi identitas khasnya.

Di tangannya, wayang kulit bukan lagi sekadar tontonan klasik, tetapi ikon budaya yang akrab sekaligus fashionable.

Sambutan dan Apresiasi

Acara yang diprakarsai Bung Kirno (St Sukirno, budayawan Semarang) mendapat dukungan penuh Paguyuban Catur Manunggal (Puji Langgeng, Maju Kareb, Sobokarti, dan Suharti Laras) bersama Fraksi PDI-P DPRD Jawa Tengah.

Pagelaran lakon Sang Kumbakarna semakin semarak dengan hadirnya seniman senior Abah Kirun serta tamu kehormatan dari kalangan budayawan, akademisi, seniman, hingga pejabat Dinas Kebudayaan Kota Semarang. Kehadiran mereka bukan sekadar formalitas, melainkan bentuk nyata apresiasi atas ikhtiar pelestarian budaya yang digerakkan Teater Lingkar dan Ki Sindhunata.

Dalam sambutan, sejumlah tokoh menekankan pentingnya menghormati jejak leluhur seni seperti Ki Narto Sabdho, sekaligus memberi ruang optimisme bagi generasi penerus.

Wayang sebagai Jalan Strategis

Pagelaran malam itu juga dibaca sebagai strategi kebudayaan. Wayang kulit bukan hanya hiburan, tetapi sarana pendidikan kultural yang menemukan relevansinya di tengah perubahan zaman.

Bagi Ki Sindhunata Gesit, panggung adalah ruang tuntunan. Misi yang ia emban sejalan dengan amanah Ki Narto Sabdho: menjaga, merawat, dan menghidupkan kembali wayang kulit agar tetap berdenyut di hati masyarakat modern.

Harmoni Masa Lalu dan Masa Depan

Semarang malam itu menyaksikan harmoni antara masa lalu dan masa depan. Di layar kelir, lakon Sang Kumbakarna menghidupkan kembali warisan nilai, sekaligus menyapa generasi baru dengan bahasa segar.

Ki Narto Sabdho dan Ki Sindhunata Gesit Widiharto, meski berbeda zaman, bersatu dalam satu amanah: menjaga wayang sebagai cermin kebijaksanaan Jawa sekaligus warisan dunia yang tak lekang dimakan waktu.

Dengan spirit ini, peringatan seabad Ki Narto Sabdho bukan semata perayaan, melainkan investasi kultural. Ia memastikan identitas bangsa tetap hidup dalam setiap suluk, gamelan, dan bayangan wayang yang menari di kelir.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama