Dari Aula ke TPS: Ikhtiar Menyuarakan yang Sunyi di Demak

 


MNI|DEMAK – Kursi roda Siti Hajar berderit pelan saat didorong ibunya memasuki Aula Dinas Sosial P2PA Kabupaten Demak. Wajahnya tegang, sesekali tersenyum kecil ketika seorang petugas Dukcapil menyapanya ramah. Bagi remaja tunanetra berusia 17 tahun itu, Selasa (2/9) bukan sekadar hari biasa. Ia akhirnya bisa merekam KTP—dokumen yang akan membawanya ke bilik suara pada Pemilu 2025 mendatang.


“Anak saya sejak kecil belum pernah punya KTP. Saya takut nanti haknya hilang,” ujar ibunya, dengan suara bergetar.


Kisah Siti hanyalah satu dari puluhan cerita lain yang muncul selama dua hari perekaman KTP disabilitas dan ODGJ di Demak. Hari pertama, 70 penyandang disabilitas berbagai kategori hadir. Hari kedua, giliran 35 penghuni Panti Rehabilitasi Sosial ODGJ Maunatul Mubarok di Desa Sayung yang dicatat resmi sebagai warga negara.


Sugeng Widodo, Ketua Perkumpulan Bina Akses Jateng, menuturkan kegiatan ini penting untuk memastikan mereka tidak lagi tercecer dari daftar pemilih tetap. “Identitas kependudukan adalah pintu masuk. Tanpa itu, mereka bisa kehilangan hak pilih sekaligus hak atas program sosial,” ujarnya.


Bagi sebagian keluarga, pencatatan identitas anggota yang mengalami gangguan jiwa juga menghadirkan harapan lain: peluang untuk mencari kembali sanak saudara yang hilang. “KTP bisa jadi bukti keberadaan. Kadang keluarga datang ke kami menanyakan anak atau saudara yang sudah lama tak pulang. Identitas membantu membuka jalan,” kata Sugeng.


Namun perjuangan ini tidak selalu mudah. Pada pemilu sebelumnya, Sugeng mengingat betul bagaimana beberapa petugas TPS canggung melayani pemilih disabilitas. Ada yang bingung saat harus membantu tunanetra, ada pula yang salah memperlakukan pemilih dengan keterbatasan mental. “Tapi kita terus belajar. Partisipasi mereka meningkat, dan itu buah kerja kolektif komunitas disabilitas di banyak daerah,” ujarnya.


Di Panti Maunatul Mubarok, suasana perekaman KTP terasa lebih haru. Seorang penghuni, lelaki paruh baya yang dipanggil Pak Darto, tampak sumringah ketika difoto oleh petugas. Ia berulang kali mengacungkan jempol sambil berkata, “Saya resmi sekarang, ya?” Para petugas dan pendamping tersenyum, ada yang menahan haru.


Proses perekaman ini melibatkan Dinas Dukcapil, Dinas Sosial, komunitas disabilitas, hingga Pusat Pemilu Akses Disabilitas. Kolaborasi yang menurut Sugeng menjadi bukti bahwa inklusi tak bisa berjalan sendiri, melainkan harus dirajut bersama.


Ke depan, ia berharap seluruh TPS benar-benar ramah bagi pemilih disabilitas. “Bayangkan kalau TPS berada di lantai dua tanpa akses ramp, atau tidak ada template braille untuk tunanetra. Itu bukan demokrasi. Kami ingin TPS di Demak dan Jawa Tengah menjadi ruang yang benar-benar inklusif,” tandasnya.


Dari kursi roda, tongkat penuntun, hingga ingatan samar-samar para penghuni panti, suara-suara itu kini perlahan terjaring. Bukan hanya angka di daftar pemilih tetap, tapi sebagai bukti bahwa demokrasi juga milik mereka yang selama ini paling sunyi.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama